Vemale.com - Selama bertahun-tahun, kehidupan pernikahan kami
berjalan sebagaimana mestinya. Dia selalu memenuhi kebutuhan keluarga
sebagaimana mestinya. Kami juga tidak pernah bertengkar hebat karena
hal-hal tertentu. Saat pertengkaran kecil melanda, dia cenderung diam
selama beberapa saat. Setelah emosinya mereda, dia pun kembali bersikap
seperti biasa.
Suamiku biasa menciumku dua kali sehari yaitu
sebelum dia berangkat bekerja dan sepulang dia bekerja. Kebiasaan ini
sudah menjadi patokanku bahwa dia mencintaiku dengan segenap hati dan
perasaannya karena sewaktu pacaran pun dia tidak pernah romantis. Kami
jarang mengobrol sampai malam, jarang pergi nonton berdua, bahkan makan
berdua di luar pun hampir tidak pernah. Kalau kami makan di meja makan
berdua, kami asyik sendiri dengan sendok garpu kami. Alih-alih obrolan
hangat, yang terdengar hanya denting piring yang beradu dengan sendok
garpu. Kalau hari libur, dia lebih sering tiduran di kamar atau bermain
dengan anak-anak. Dia jarang sekali tertawa lepas. Karena dia sangat
pendiam, aku menyangka dia memang tidak suka tertawa lepas.
Aku
mengira rumah tangga kami baik-baik saja selama 8 tahun pernikahan kami.
Sampai suatu ketika, di suatu hari yang terik, suamiku tergolek sakit
di rumah sakit. Karena jarang makan dan sering jajan di kantornya
dibandingkan makan di rumah, dia kena typhoid dan harus dirawat di rumah
sakit. Pada saat dia masih di ICU, seorang perempuan datang
menjenguknya. Dia bernama Rika, teman Dhika di masa kuliah. Rika tidak
secantik aku. Dia begitu sederhana. Tapi aku tidak pernah melihat mata
yang begitu cantik seperti yang dia miliki. Matanya bersinar indah penuh
kehangatan dan penuh cinta. Ketika dia berbicara, seakan-akan waktu
berhenti berputar dan terpana dengan kalimatnya yang ringan dan penuh
pesona. Setiap orang akan jatuh cinta begitu mendengar dia bercerita.
Rika tidak pernah kenal dekat dengan Dhika selama mereka kuliah dulu.
Rika bercerita Dhika sangat pendiam sehingga jarang punya teman yang
akrab. 5 bulan lalu mereka bertemu karena ada pekerjaan kantor yang
mempertemukan mereka. Rika yang bekerja di advertising akhirnya bertemu
dengan Dhika yang sedang membuat iklan untuk perusahaan tempatnya
bekerja.
Aku mulai mengingat-ingat. Lima bulan lalu ada perubahan
yang cukup drastis pada Dhika. Setiap akan berangkat bekerja, dia
tersenyum manis padaku. Dalam sehari, dia bisa menciumku lebih dari tiga
kali. Dia juga membelikan aku parfum baru dan mulai sering tertawa
lepas. Tapi di saat lain, dia sering termenung di depan komputernya.
Ketika aku bertanya, dia hanya berkata bahwa ada pekerjaan yang
membingungkan.
Suatu saat Rika pernah datang pada saat Dhika sakit
dan masih dirawat di rumah sakit. Aku sedang memegang sepiring nasi
beserta lauknya dengan wajah kesal karena Dhika tidak mau aku suapi.
Rika masuk ke kamar dan menyapa dengan suara riangnya, “hai Rima, apa
yang terjadi dengan anak sulungmu ini? Tidak mau makan juga? Uhh… dasar
anak nakal, sini piringnya," lalu dia terus mengajak Dhika bercerita
sambil menyuapi Dhika. Tiba-tiba saja sepiring nasi itu sudah habis di
tangannya. Dan... aku tidak pernah melihat tatapan penuh cinta yang
terpancar dari mata suamiku seperti siang itu. Aku tidak pernah bertanya
apakah suamiku mencintai perempuan berhati bidadari itu karena tanpa
bertanya pun aku sudah tahu apa yang bergejolak di hatinya.
Suatu
sore, mendung begitu menyelimuti jakarta. Aku tidak pernah menyangka
hatiku pun akan mendung dan bahkan gerimis. Anak sulungku, seorang anak
perempuan cantik berusia 7 tahun, berhasil membuka password email
papanya dan memanggilku, “Mama, mau lihat surat papa buat Tante Rika?”
Aku tertegun memandangnya, dan membaca isi surat elektronik itu:
Dear
Rika,
Kehadiranmu bagai beribu bintang gemerlap yang
mengisi seluruh relung hatiku, aku tidak pernah merasakan jatuh cinta
seperti ini, bahkan pada Rima. Aku mencintai Rima karena kondisi yang
mengharuskan aku mencintainya, karena dia ibu dari anak2ku. Ketika aku
menikahinya, aku tetap tidak tahu apakah aku sungguh-sungguh
mencintainya. Tidak ada perasaan bergetar seperti ketika aku
memandangmu. Tidak ada perasaan rindu ketika aku tidak menjumpainya. Aku
hanya tidak ingin menyakiti perasaannya. Ketika konflik terjadi seperti
saat kami pacaran dulu, aku sebenarnya kecewa. Tapi aku tidak sanggup
mengatakan padanya bahwa dia bukanlah perempuan yang aku cari untuk
mengisi kekosongan hatiku. Hatiku tetap terasa hampa meskipun aku
menikahinya.
Aku tidak tahu bagaimana cara menumbuhkan
cinta untuknya seperti ketika cinta untukmu tumbuh secara alami. Itu
yang aku rasakan.
Aku tidak akan pernah bisa memilikimu
karena kau sudah menjadi milik orang lain. Dan aku adalah laki-laki yang
sangat memegang komitmen pernikahan kami. Rima bisa mendapatkan segala
yang dia inginkan selama aku mampu. Dia boleh mendapatkan seluruh
hartaku dan tubuhku, tapi tidak dengan jiwaku dan cintaku yang hanya aku
berikan untukmu. Meskipun ada tembok yang menghalangi kita, aku
berharap engkau mengerti bahwa you are the only one in my heart.
yours,
Dhika
Mataku
terasa panas. Suamiku tidak pernah mencintaiku. Dia tidak pernah
bahagia bersamaku. Dia mencintai perempuan lain. Aku mengumpulkan
kekuatanku. Sejak itu, mobil yang dia berikan untukku kukembalikan
padanya. Aku mengumpulkan tabunganku yang kusimpan dari sisa uang
belanja dan aku belikan motor untuk mengantar dan menjemput anak-anakku.
Dhika merasa heran karena aku tidak pernah lagi bermanja. Aku terpuruk
dalam kehancuranku. Aku dulu memintanya menikahiku karena malu terlalu
lama pacaran di saat teman-temanku sudah menikah semua. Ternyata dia
memang tidak pernah menginginkan aku menjadi istrinya.
Betapa
tidak berharganya aku. Tidakkah dia tahu bahwa aku juga seorang
perempuan yang berhak mendapatkan kasih sayang dari suaminya? Mengapa
dia tidak mengatakan saja bahwa dia tidak mencintaiku dan tidak
menginginkanku? Itu jauh lebih kuhargai daripada hanya diam dan
melamarku serta menikahiku.
**********
Setahun kemudian..
Rika
membuka amplop surat itu dengan air mata berlinang. Tanah pemakaman itu
masih basah merah dan dipenuhi bunga.
Dhika, suamiku..
“...Kehadiran
perempuan itu membuatmu berubah. Engkau tidak lagi sedingin es. Namun
tetap saja aku tidak pernah melihat cahaya cinta dari matamu untukku,
seperti aku melihat cahaya yang penuh cinta itu berpendar dari kedua
bola matamu saat memandang Rika...”
Di surat yang kesekian,
“…Aku
bersumpah akan membuatmu jatuh cinta padaku. Aku telah berubah, Dhika.
Aku tidak lagi marah-marah padamu, tidak lagi suka membanting barang dan
berteriak jika emosi. Aku belajar memasak dan tidak lagi boros. Aku
tidak lagi suka bertengkar dengan ibumu. Aku merawatmu jika engkau sakit
dan aku tidak kesal saat engkau tidak mau aku suapi. Aku menungguimu
sampai tertidur di samping tempat tidurmu di rumah sakit saat engkau
dirawat. Meskipun sinar cinta itu belum terbit dari matamu, aku akan
tetap berusaha dan menantinya...”
Rika menghapus airmata yang
terus mengalir dari kedua mata indahnya. Dipeluknya Fika yang
tersedu-sedu disampingnya.
Di surat terakhir, pagi ini…
“...Hari
ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-9. Tahun lalu
engkau tidak pulang ke rumah. Tapi tahun ini aku akan memaksamu pulang
karena hari ini aku memasak makanan yang paling enak sedunia. Kemarin
aku belajar membuatnya di rumah Bude Tuti sampai kehujanan dan basah
kuyup karena waktu pulang hujannya deras sekali dan aku hanya
mengendarai motor.
Saat aku tiba di rumah kemarin malam, aku
melihat sinar kekhawatiran di matamu. Engkau memelukku dan menyuruhku
segera ganti baju supaya tidak sakit. Tahukah engkau suamiku... Selama
hampir 15 tahun aku mengenalmu, 6 tahun kita pacaran, dan hampir 9 tahun
kita menikah, baru kali ini aku melihat sinar kekhawatiran itu dari
matamu, inikah tanda cinta mulai bersemi di hatimu?”
Fika menatap
Rika, dan bercerita,
“Siang itu Mama menjemputku dengan motornya.
Dari jauh aku melihat keceriaan di wajah mama. Dia terus
melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku tidak pernah melihat wajah
yang sangat bersinar dari mama seperti siang itu. Dia begitu cantik.
Meskipun dulu sering marah-marah kepadaku, aku selalu menyayanginya.
Mama memarkir motornya di seberang jalan dan ketika mama menyeberang
jalan, tiba-tiba mobil itu lewat dari tikungan dengan kecepatan tinggi.
Aku tidak sanggup melihatnya terlontar, Tante. Aku melihatnya masih
memandangku sebelum dia tidak lagi bergerak."
Fika memeluk Rika
dan terisak. Bocah cantik ini masih terlalu kecil untuk merasakan sakit
di hatinya, tapi dia sangat dewasa. Rika mengeluarkan selembar kertas
yang dia print tadi pagi. Dhika mengirimkan email lagi kemarin malam,
dan tadinya aku ingin Rima membacanya.
Dear Rika,
Selama
setahun ini aku mulai merasakan Rima berbeda. Dia tidak lagi
marah-marah dan selalu berusaha menyenangkan hatiku. Dan tadi, dia
pulang dengan tubuh basah kuyup karena kehujanan. Aku sangat khawatir
dan memeluknya. Tiba-tiba aku baru menyadari betapa beruntungnya aku
memiliki dia. Hatiku mulai bergetar. Inikah tanda aku mulai
mencintainya? Aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau
sarankan, Rika. Dan besok aku akan memberikan surprise untuknya. Aku
akan membelikan mobil mungil untuknya supaya dia tidak lagi naik motor
kemana-mana. Bukan karena dia ibu dari anak-anakku, tapi karena dia
belahan jiwaku.
Rika menatap Dhika yang tampak semakin
ringkih dan terduduk di samping nisan Rima. Di wajahnya tampak duka yang
dalam. Semuanya telah terjadi, Dhika. Kadang kita baru menyadari bahwa
kita mencintai seseorang ketika seseorang itu telah pergi meninggalkan
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar